Selasa, 01 Mei 2012

PEMBANGUNAN POLITIK DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Dunia ilmuan selalu lebih dekat dengan dunia berita utama surat kabar daripada yang didasari oleh para ilmuan itu sendiri maupun oleh orang awam. Perhatian yang akademis yang semakin bertambah besar terhadap masalah-masalah Negara baru dalam proses pembangunan politik lebih banyak diilhami oleh kejadian-kejadian politik dunia daripada oleh kemajuan-kemajuan dalam teori ilmu politik. Oleh kaena itu, dalam pengertian yang luas, konsep pembangunan politik pertama kali didefinisikan oleh para negarawan dan para pembuat kebijaksanaan umum, dan bukan oleh para sarjana. Keadaan pengetahuan kita saat ini, begitu juga kata-kata yang kita gunakan dalam membahas masalah pembangunan, mencerminkan kenyataan ini.
Bahasa yang digunakan dalam kebijaksanaan umum selalu berubah-ubah sebab perhatian-perhatian baru menimbulkan istilah-istilah baru pula. Tetapi dalam bahasa politik, dimana slogan-slogan merupakan hal yang umm digunakan dalam dialog-dialog, banyaknya penemuan-penemuan istilah baru jarang sekali mencerminkan kemajuan dalam pemikiran. Kadang-kadang istilah-istilah baru memang mencerminkan adanya kesadaran akan masalah-masalah baru, tetapi lebih sering yang dirasakan sulit dipahami. Apabila bahasa politik berusaha mendefinisikan secara umum keadaan kehidupan manusia dewasa ini, maka bahasa itu biasanya peka sekali terutam terhadap perasaan-perasaan yang berupa harapan, kecemasan, atau prustasi yang tidak lepas dari kemampuan otak yang tidak tentu dalam berpacu untuk mendahului kecepatan tertinggal perubaha atau tertinggal dibelakangnya. Dalam usaha mencari landasan yang netral, analis politik mau tidak mau akan menghadapi dilema, yaitu dari satu pihak ia tidak dapat mengesampingkan istilah-istilah yang umum digunakan, tetapi sebaliknya ia tidak dapat menggunakannya dalam kegiatan intelektualnya. Dan walaupun seorang analis politik mungkin menyadari bahwa sifat-sifat kabur dan kurang teliti yang merupakan hal yng menguntungkan dalm seni berpolitik bisa menjerat mereka sendiri, namun ia tetap akan menjadi korban dari pola “jukum Gresham” dalam komunikasi politik.
Karena itu penting sekali penjelasan mengenai beberapa pengertian yang membingungkan dan sering dikaitkan dengan istilah “pembangunan politik”bukan maksud kita disini menyetujui atau menolak suatu definisi tertentu tetapi untuk menerangkan situasi kekacauan semantic yang menghalangi perkembangan teori, dan mempersulit tujuan-tujuan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum.























BAB II
PEMBAHASAN

a.      Pembangunan politik di Indonesia
Sejak awal kehidupan manusia –berjuta tahun yang lampau– manusia dihadapkan pada berbagai macam perubahan aktual alam semesta di mana dia hidup. Lambat laun, respon atas fenomena alam ini bertransformasi menjadi sikap mengatasi perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara umat manusia, respon atas interaksi sosial ini kemudian mengubah cara dan kebiasaan hidup mereka. Hal ini terus berkembang secara evolutif sekaligus revolutif, hingga sampai pada diketemukannya model pelembagaan pengaturan masyarakat dalam bingkai negara, beserta ilmu yang menyertainya, politik.
Evolusi merupakan kata yang berasal dari bahasa latin yang artinya membuka gulungan atau membuka lapisan. Kemudian bahasa itu diserap menjadi bahasa inggris evolution yang berarti perkembangan secara bertahap. Jadi dapat dikatakan perubahan secara evolutif bersifat linear, sedangkan revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat. Pemerintah orde baru dibawah kepimpinan Presiden Soeharto, mengedepankan pembangunan ekonomi ketimbang pembangunan dibidang politik. Akibat dari pilihan ini perubahan sosial mengalami stagnasi karena rakyat Indonesia dipaksa berada dibawah kungkungan politik yang diterapkan, demi untuk meciptakan kestabilan politik guna melancarkan program pembangunan ekonomi yang telah dicanangkan. Ketika Reformasi 1998 terjadi, banyak pengamat politik menilai bahwa Indonesia kini tengah memasuki era baru dalam sistem perpolitikan nasional. Terjadinya penerapan sistem demokrasi yang menggantikan sistem sebelumnya yang banyak dituding sebagai sistem yang bersifat otoriter, meskipun sistem yang sebelumnya berlaku juga berlabel demokrasi. Kondisi politik pasca Reformasi menjadikan masyarakat dihidangkan dengan dengan sistem baru yang menuntut masyarakat untuk lebih terlibat secara pro-aktif didalamnya. Dalam penerapannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, sehingga dalam mewujudkannya perlu ada langkah-langkah yang harus dilakukan secara bertahap. Peningkatan kesadaran politik masyarakat serta penanaman nilai tidak boleh diabaikan, hal inilah yang kita inginkan dalam proses pembangunan politik. Lucian W. Pye menyimpulkan tiga tema besar yang berhubungan dengan makna pembangunan politik. Pertama, terjadinya pertambahan persamaan (equality) antara individu dalam kaitannya dengan sistem politik, kedua pertambahan kemampuan (capacity) dalam hubungannya dengan lingkungannya, dan yang ketiga pertambahan pembedaan (differentation and spesialitation) lembaga dan strukur didalam sistem politik tersebut. Pembangunan politik dalam hal ini erat kaitannya dengan budaya politik, struktur-struktur politik yang berwenang serta proses politik. Pertambahan persamaan antara individu akan mengarah kepada upaya untuk menciptakan bagaimana keterlibatan rakyat dalam kegiatan-kegiatan politik yang berlangsung. Dan keterlibatan tersebut harus didasarkan pada pertimbangan kapasitas atau kemampuan seseorang, bukan berdasarkan kepada status sosialnya. Sementara pertambahan pembedaan atau dalam hal ini differensiasi dan spesialisasi mengacu kepada lembaga-lembaga politik dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsinya dengan jelas dari masing-masing lembaga yang ada. Terakhir, mengenai pertambahan kapasitas berkenaan dengan kemampuan sistem politik dalam memeberikan pengaruh yang positif terhadap sistem yang lainnya, misalnya pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi.
Kemiskinan dan kelaparan (musuh utama pembangunan ekonomi) ternyata punya hubungan yang sangat erat dengan demokrasi. Begitu kesimpulan yang bisa kita ambil dari pemikiran Amartya Sen (peraih Nobel Ekonomi tahun 1998). Dari serangkaian penelitian mengenai bencana kelaparan besar di Bengali (tahun 1974), Ethiopia (tahun 1973 dan 1974), Banglades (tahun 1974), dan negara-negara Sahara (tahun 1968-1973) warga India yang mendapat Nobel itu membuktikan bahwa bencana kelaparan lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi, macam sistem administrasi dan pengelolaan distribusi pangan, ketimbang karena kelangkaan persediaan pangan atau kegagalan panen.
Menurut Sen represi terhadap aspirasi itulah yang menghambat pertumbuhan ekonomi, hal yang terjadi pada masyarakat autoritarian, negara diktator teknokratis, dalam ekonomi kolonial yang dijalankan oleh negara-negara imperialis dari Utara dan negara-negara baru merdeka di Selatan yang dijalankan oleh pemimpin nasional dari partai tunggal yang tidak toleran. Sebaliknya, kelaparan secara substansial tidak pernah terwujud di negara mana pun yang independen, yang mengadakan pemilihan umum secara teratur, yang memiliki partai-partai oposisi untuk menyuarakan kritik dan yang mengizinkan surat kabar untuk membuat laporan secara terbuka dan mempertanyakan kebijakan pemerintah.

b.      Pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi
Ketika perhatian pertama kali diarahkan pada masalah-masalah pertumbuhan ekonomi dan perlunya mengubah perekonomian yang berjalan lambat menjadi dinamis dengan pertumbuhan yang swa sembada, ahli-ahli ekonomi dengan cepat menunjukan bahwa kondisi-kondisi politik dapat memainkan peranan penentu yang dapat menghalangi ataupun membantu peningkatan pendapatan per kapita. Sehingga pantaslah jika pembangunan politik dipandang sebagi keadaan  masyarakat politik yang dapat membantu jalannya pertumbuhan ekonomi.
Keberatan lain terhadap pandangan ini nampak semakin jelas selama sepuluh tahun terakhir ini, dimana hari depan pembanguna ekonomi yang cepat bagi banyak Negara-negara miskin nampak semakin suram. Perekonomian masyarakat-masyarakat itu berubah dengan jauh lebih lambat daripada pertumbuhan tata kehidupan politik, dan pertumbuhan ekonomi nyata , jangan lagi perkembangan industri nampaknya tidak akan berlangsung dalam era generasi kita ini, walaupun akan banyak terjadi perubahan politik nyata., yang apabila ditinjau dari sudut pengertian-pengetian lain bisa disebut pembangunan politik.
Keberatan terakhir adalah bahwa rakyat disebagian Negara-negara sedang berkembang memiliki perhatian utama yang lebih jauh daripada sekedar kemajuan materiil, mereka selalu cemas akn pembangunan politik yang betul-betul terlepas dari akibatnya terhadap tingkat pertumbuhan politik. Karena itu, menghubungkan pembangunan politik semata-mata hanya dengan kejadian-kejadian ekonomi akan melalaikan banyak hal yang jauh lebih penting dinegara-negara yang sedang berkembang.

c.       Pembangunan politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri.
Konsep popular kedua mengenai pembangunan politik, yang juga dikaitkan dengan factor-faktor ekonomi, menyangkut pandangan abstrak mengenai jenis khas kehidupan politik yang mendasari masyarakat industri maju. Asumsinya adalah bahwa kehidupan masyarakat industri menciptakan tipe kehidupan politik tertentu yang kurang lebih umum yang dapat ditiru oleh masyarakat manapun, baik yang sudah menjadi masyarakat industri atupun yang belum. Menurut pandangan ini, masyarakat industri, baik yang demokratis ataupun bukan, menciptakan standar-setandar tertentu mengenai tingkah laku dan prestasi politik yang dapat menghasilkan keadaan pembangunan politik dan merupakan contoh dari tujuan-tujuan pembangnan yang cocok bagi setiap system politik.
Dengan demikian beberapa sifat khas dari pembanguna politik merupakan pola-pola tertentu dari tingkah laku pemerintahan yang “rasional” dan “bertanggung jawab”, yaitu: penghindaran dari tindakan gegabah yang mengancam kepentingan dari golongan masyarakat yang penting, kesadaran akan batas-batas kedaulatan politik, penghargaan terhadap nilai-nilai administrasi yang teratur dan prosedur hukum, pengakuan bahwa politik adalah suatu mekanisme pemecahan masalah dan bukannya tujuan itu sendiri, penekanan kepada program-program kemakmuran, dan terkhir, kesediaan untuk menerima partisifasi massa.
d.      Pembangunan Politik sebagai Moderenisasi Politik.
Pandangan bahwa pembangunan politik merupakan kehidupan politik yang khas dan ideal dari masyarakat industry berkaitan erat dengan pandangan bahwa pembangunan politik sama dengan moderenisasi politik. Negara-negara industry maju adlah membuat mode dan pelopor dalam hampir setia segi kehidupan sosial dan ekonomi, karena itu dapat dimengerti bila banyak orang yang mengharapkan bahwa lah seperti itu juga terjadi dalam dunia politik. Tetapi justeru penerimaan yang terlalu mudah atas pandangan ini mengundang tentangan dari kelompok yang mempertahankan relativisme kebudayaan, yang mempermasalhkan keberadaan dari identifikasi ciri-ciri masyarakat industry yaitu barat yang dipakai sebagai standard kontemporer dan universal bagi setiap kehidupan politik.
Walaupun demikian, dalam perkembangan sejarah dunia memang dapat ditelusuri pertumbuhan Kebiasaan-kebiasaan dan bahkan norma-norma sosial yang semakin tersebar luas di duni dan yang oleh orang umumnya dirasakan sebagai sesuatu yang harus diterima oleh setip pemerintah. Banyak dari standard-standrd ini dapat ditelusuri kembali pada pembangkitan masyarakat industry dan pertumbuhan ilmu dan teknologi, tetapi sebagian besar daripadanya saat ini mempunyai dinamika sendiri. Partisipasi masa, misalnya, mencerminkan kenyataan sosial dari kehidupan masyarakat industri, tetapi juga telah dianggap sebagai hak mutlak dalam semangat pada zaman masa kini. Cita-cita lainnya seperti tuntutan hukum yang universal, penghargaan yang lebih diadasarkan pada prestasi daripada berdasrkan kelahiran, dan konsep- konsep umum mengenai keadilan dan kewarga negaraan, sekarang nampaknya memperoleh kedudukan yang tinggi dalam setiap kebudayaan, sehingga cukup beralasan untuk disebut sebagai standard yang universal bagi kehidupan politik modern.

e.       Pembangunan Politik Sebagai Operasi Negara-Bangsa.
Pembangunan politik merupakan suatu peroses melalui masyarakat-masyarakat yang hanya bentuknya saja merupakan Negara-bangsa dalam arti yang sebenarnya. Jelasnya pembangunan ini melibatkan pembangunan kapasitas untuk mempertahankan suatu tingkat ketertiban umum tertentu, untuk memobilisir sumber-sumber dalam usaha bersama, dan untuk membuat dan menopang ikatan-ikatan internasional. Jadi ukuran bagi pembangunan akan melipuyti:
1.      Pembentukan serangkaian lembaga-lembaga public tertentu yang merupakan prasarana penting bagi seluruh Negara-bangsa.
2.      Pengungkapan secara tertib gejal nasionalisme ke dalam kehidupan politik.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan politik adalah politik nasionalisme yang dijalankan dalam kerangka lembaga-lembaga Negara.

f.       Pembangunan Politik sebagai Pembanguna Administrasi dan Hukum.
Seperti yang telah kita ketahui dalam sejarah pengaruh Barat terhadap dunia, satu diantara tema-tema pokoknya adalah kepercayaan bangsa-bangsa Eropa bahwa dalm membina masyarakat politik yang harus didahulukan adalah tatanan hukum dan tatanan administrasi.
Tradisi ini memperkuat teori-teori masakini yang menyatakan bahwa pembentukan birokrasi yang efektif harus memperoleh prioritas utama dalam peros pembangunan. Dalam pandangan ini pembangunan administrasi dikaitkan dengan penyebaran rasionalitas, penguatan konsep-konsep hukum sekuler, dan peningkatan pengetahuan teknis dan keahlian dalam pengaturan kehidupan manusia.

g.      Pembangunan Politik sebagai Mobilitas dan Partisipasi Masa.
Menurut sebagian besar pandangan orang, pembangunan politik memang meliputi perluasan partisipasi masa, tetapi sangat perlu dibedakan kondisi-kondisi bagi perluasan itu. Menurut sejarah, di dunia barat dimensi pembangunan politik ini dihubungkan erat dengan perluasan hak pilih dan penyertaan unsure-unsur warga Negara yang baru kedlam proses politik. Proses partisipasi masa ini berarti penyebarluasan peruses pembuatan keputusan, dan partisipasi itu mempunyai pengaruh terhadap pilihan keputusan.
h.      Pembangunan politik sebagai pembunaan demokrasi
Hal-hal diatas membawa kita pada pandangan bahwa pembangunan politik adalah, atau seharusnya sama dengan, pembentukan lembaga-lembaga dan praktek-praktek demokratis dalam pandangan banyak orang tersirat banyak asumsi bahwa satu-satunya bentuk pembangunan politik yang bermakna adalah pembinaan demokrasi bahkan ada orang yang menekankan bahwa pentingnya hubungan ini dan berpendapat bahwa pembangunan baru bermakna bila dikaitkan dengan suatu ideology tertentu, apakah itu demokrasi, komunisme, ataupun totalitarisme. Menurut pandangan ini pembangunan dapat berarti bila dihubungkan dengan penguatan nilai-nilai tertentu. Dan berusaha untuk berdalih bahwa hal itu tidak relevan adalah sama dengan menipu diri sendiri.

i.        Pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan teratur
Banyak pada diri ereka yang merasa bahwa demokrasi itu tidak sesuai dengan pembangunan yang cepat memandang pembangunan hamper semata-mata dalam artian ekonomi dan tertib sosial. Komponen politik dari dari pandangan seperti itu biasanya terpusat pada konsep stabilitas politik yang berdasar kepada kapasitas untuk menyelenggarakan perubahan yang terarah dan teratur. Stabilitas yang hanya merupakan kemandegan dan dukungan sepihak atas status quo jelas bukan pembangunan, kecuali kalau alternative yang dihadapi adalah keadaan yang lebih buruk. Tetapi stabilitas dapat dihubungkan dengan konsep pembangunan dalam arti bahwa setiap bentuk kemajuan ekonomi dan sosial umumnya tergantung dari lingkungan yang lebih banyak memilikikepastian dan memungkinkan adanya perencanaan berdasar kepada prediksi yang cuup aman.

j.        Pembangunan Politik Sebagai Mobilitas Dan Kekuasaan
Pandangan ini membawa kita pada konsep bahwa system-sistem politik dapat diniali dari sudut tingkat atat kadar kekuasaan yang dapat dimobilisir oleh system itu
Bila pembangunan politik diartikan sebagai mobilitas dan peningkatan kekuasaan dalam masyarakat, dapatkah kita membedakan antara tujuan pembangunan dengan cirri-ciri yang biasanya dilekatkan pada pembangunan. Banyak dari cirri-ciri ini yang dapat diukur, dank arena itu dapat disususn indeks-indeks pembangunan item-item dalam indeks seperti itu meliputi: pengaruh dan penetrasi media massa yang diukur berdasarkan sirkulasi surat kabar dan distribusi pemilikan radio, basisi perpajakan masyarakat, proporsi orang-orang yang duduk dalam pemerintahan dan distribusinya dalam berbagai kategori kegiatan, proporsi dari alokasi sumber-sumber untuk penidikan, pertahanan dan kesejahteraan sosial.
Pembangunan politik bagaimanapun juga punya hubungan erat dengan segi-segi perubahan sosial dan ekonomi yang lain. Hal ini memang benar, sebab setiap item yang mungkin relevan dalam menerangkan potensi kekuasaan suatu Negara tentu juga mencerminkan keadaan ekonomi dan tatanan sosialnya. Selanjutnya bisa ditambahkan argument bahwa tidak perlu dan tidak wajar untuk mencoba mengisolir sama sekali pembangunan politik  dari bentuk-bentuk pembangunan yang lainnya.meskipun secara terbatas dunia plitik bisa dipisahkan dari masyarakat, namun pembangunan politik hanya bisa berjalan dalam konteks proses perubahan sosial yang multi dimensi dimana tidak ada bagia atau sector masyarakat yang terlalau jauh tertinggal.

k.      Pembangunan Politik dan Kesejahteraan Rakyat
Negara kita memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang sejahtera dan maju. Pengalaman dari banyak negara lain meyakinkan kita bahwa tidaklah lama waktu yang diperlukan untuk menjadi negara bangsa yang sejahtera. Hanya dalam waktu 30 tahun, Korea Selatan yang semula bangsa feodal dan tradisional yang sistem ekonomi, politik, dan hukumnya runtuh akibat perang saudara di tahun 1950-1953, telah mampu menjadi negara modern yang sejahtera terutama sejak pemerintahan
Presiden Park Chung Hee, dan telah memperoleh penghormatan dunia dengan menjadi tuan rumah Olimpiade. Malaysia yang secara sosial budaya mirip kita, dan baru merdeka di tahun 1957, sekarang telah menjadi bangsa dengan GNP/kapita/tahun 4.000 dolar AS. Selain itu, untuk lebih mengangkat prestise bangsanya di mata dunia internasional, Malaysia telah membangun gedung yang beberapa tahun yang lalu merupakan gedung yang tertinggi di dunia.
Negara-negara yang mampu dalam waktu singkat membangun kemajuan dan kemakmuran bagi warganya itu, beberapa di antaranya harus melalui perubahan politik yang mendasar, semisal RRC sejak kepemimpinan Deng Xiao Ping dan Jiang Zemin. Pelajaran dari keberhasilan negara-negara di dunia ini, meyakinkan kita bahwa untuk membangun kesejahteraan yang tinggi di negara kita, diperlukan hadirnya kehidupan politik yang sehat dan penegakan hukum yang tegas. alah satu unsur amat penting dalam pembangunan politik adalah pengembangan
kehidupan demokrasi. Loncatan kemajuan demokratisasi di negara kita ditengarai
oleh proses Pemilu 2004 yang diwarnai oleh beberapa hal. Pertama, menyusutnya
jumlah parpol peserta pemilu legislatif dari 48 partai di Pemilu 1999 menjadi
24 partai di Pemilu 2004, melalui mekanisme yang demokratis, berupa persyaratan yang diperketat yang berlaku bagi semua parpol. Berkurangnya jumlah parpol tersebut, diharapkan akan dapat mengembangkan proses politik yang lebih efisien.
Kemajuan kedua, ditandai dengan diselenggarakannya pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah secara langsung memilih orang, meskipun masih banyak yang mempersoalkan penetapan jumlah perwakilan yang sama untuk setiap provinsi sebanyak empat orang; tanpa mempersoalkan besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah masing-masing provinsi. Kemajuan juga ditandai dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, yang telah berlangsung dengan damai. Loncatan kemajuan demokratisasi di negara kita yang ketiga, ditandai dengan munculnya kreativitas dan aktivitas masyarakat luas untuk ikut membendung  munculnya politikus bermasalah di lembaga-lembaga politik kita. Walaupun efektivitasnya belum optimal, proses politik ini, merupakan kemajuan yang ke depan diharapkan akan dapat menghasilkan tokoh-tokoh yang duduk di baga-lembaga politik di negara kita merupakan primus interpares, yang  terbaik di antara yang baik-baik. Hanya dengan cara itu lembaga-lembaga politik  kita akan dapat menghasilkan produk-produk politik yang berkualitas tinggi  Pengawasan yang aktif oleh rakyat dalam setiap proses politik termasuk pemilu, akan dapat menyehatkan berbagai penyimpangan yang telah lama terjadi dalam  berbagai kegiatan politik di Indonesia, yang berupa proses seleksi kader yang tidak berdasarkan merit system dan diwarnai nepotisme serta kolusi, proses politik yang diwarnai money politics; dan produk-produk hukum yang diwarna kepentingan kelompok dengan mengorbankan kepentingan nasional.
Usaha untuk membangun sistem politik yang baik di setiap negara, di mana pun, mahal, karena dia adalah harga yang harus dibayar untuk menciptakan kemantapan sistemik atas seluruh jalinan sistem ekonomi, sosial, politik, dan budaya suatu masyarakat modern. Politik juga mahal karena dia adalah harga yang harus dibayar untuk membangun demokrasi, lebih-lebih bagi suatu masyarakat yang pada  status naturalisnya berkultur feodal dan paternalistik, seperti Indonesia. Betapa banyak rakyat di dunia ini yang belum bisa keluar dari jeratan otoritarianisme dan diktatorisme menuju demokrasi secara damai. Kita saksikan banyak negara yang masih terjerat pada proses politik yang sentralistik dan represif; juga begitu banyak negara yang belum memiliki mekanisme pergantian kepemimpinan secara damai. Perubahan kekuasaan di Indonesia sejak zaman Tunggul Ametung-Ken Arok, Amangkurat I, sampai sekarang jarang terjadi secara mulus. Di era Indonesiamerdeka ada Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Penggantian Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, lalu ke Presiden Habibie, selanjutnya ke Presiden Abdurrahman Wahid dan lalu ke Presiden Megawati, telah berlangsung melalui suatu cara yang khusus. Kita dapat membayangkan betapa menyesalnyarakyat Afghanistan yang mencintai negerinya, terhadap keputusan para elite politiknya yang telah melakukan perubahan melalui suatu proses politik yang tidak tepat. fghanistan pada awalnya adalah sebuah negara kerajaan yang tenang dan damai
meskipun miskin, diperintah oleh raja Zahir Shah. Kemudian para elite
politiknya mengubahnya menjadi sebuah negara republik, dengan harapan ingin
membangun negara modern yang sejahtera. Namun, dalam prosesnya telah
menciptakan ketidakstabilan oleh perebutan kekuasaan antarpemimpinnya yang juga mengundang kekuatan dari luar, yang lalu membuka celah intervensi negara-negara besar; seperti Amerika Serikat, Rusia, RRC, India, Pakistan, dan Iran. Hingga saat ini Afghanistan masih terjebak dalam kekacauan sosial, ekonomi, dan
politik berkepanjangan, yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun lamanya.
Proses penggantian kepemimpinan itu di negara mana pun di dunia ini, akan dapat berlangsung lebih damai melalui mekanisme pemilu yang demokratis, di mana benih-benih keinginan perubahan terwadahi secara sistemik. Perjalanan umat manusia memang sepatutnyalah semakin membuatnya dewasa dalam berbangsa; juga dalam mengantarkan perubahan secara damai.Politik juga mahal karena dia adalah harga yang harus dibayar untuk membangun kesejahteraan dan keberlanjutan pembangunan. Dalam membiayai kegiatan politik yang mahal itu, salah satu gejala negatif di tanah air kita adalah begitu banyaknya pembiayaan politik yang tertutup, tidak transparan, bahkan banyak elite politik yang tidak mengindahkan lagi cara-cara yang halal untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Lumpen borjuasi yang berupa bandar-bandar judi, penyelundup, koruptor pengemplang uang negara, banyak yang ikut membiayai kegiatan politik yang tentu imbalannya berupa payung perlindungan. Dalam rangka ikut menyehatkan kehidupan politik dan lembaga-lembaga politik di Tanah Air kita, selayaknyalah sumber pembiayaan politik semua warga negara yang hendak maju menjadi pemimpin politik di semua tingkatan, dilakukan dengan transparan.
Agar Indonesia dapat memperoleh kemajuan dan kesejahteraan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek, diperlukan hadirnya kepemimpinan di berbagai jenjang, di tingkat nasional dan regional, yang unggul, yang mampu mengelola perubahan sekaligus diterima rakyat, yang mampu memobilisasi dan mengoptimalkan berbagai potensi yang tersedia, mampu menyusun program yang visioner yang tepat untuk masanya, dan melakukan langkah-langkah yang konsisten di bawah epemimpinan yang bukan hanya berwibawa, tetapi juga tepercaya, amanah, dan mampu menumbuhkembangkan kematangan dan kesiapan rakyat untuk berubah. Untuk itu, pada setiap jenjang pemilihan pemimpin, perlu dibuka seluas-luasnya pintu bagi masuknya kader-kader bangsa yang terbaik untuk dapat dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis. Selain itu, DPR juga harus tepercaya dalam mewakili aspirasi rakyat dan mampu mengawasi pemerintahan, karena pemerintahan dan kekuasaan tanpa pengawasan yang efektif cenderung akanmenyimpang. ukti-bukti empirik di seluruh dunia, mengajarkan kepada kita bahwa betapa pun baiknya suatu sistem, untuk membawa rakyat mencapai tujuan bersama dalam membangun bangsa yang sejahtera; negara yang semakin kukuh, kuat, dan bersatu;
bangsa yang semakin rukun, damai, setara, saling percaya dan saling
menghormati; peranan pemimpin sangat menentukan. Kong Hu Cu mengajarkan bahwa kearifan seorang pemimpin bagaikan angin, dan kearifan rakyat bagaikan rumput.
Ke mana angin berhembus, ke sana rumput merebah. Semoga meningkatnya partisipasi seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai proses politik, akan membuahkan lahirnya sebuah kekuatan dan semangat baru bernegara
sehingga dapat mengubah bangsa Indonesia yang saat ini berada dalam terpaan
berbagai masalah, dapat menjadi bangsa yang sejahtera dan berperadaban tinggi,
sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia Demokrasi dan Partisipasi

l.      Pembangunan Politik di Indonesia
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Demokrasi berkembang menjadi sebuah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Di Indonesia sendiri, gagasan dan konsep demokrasi awal mulanya tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad ke-20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global. Kedua, migrasi para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para pemuda bumiputera . Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi. Fenomena demokrasi selanjutnya dapat ditemui dalam sejarah perkembangan politik pasca kolonial natau pasca kemerdekaan. Fokus demokrasi pada masa itu adalah demokrasi parlementer (1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi 1998-2007). Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru. Pemilu yang gagal dilangsungkan tahun 1946 itu diharapkan ulang bisa berlangsung dua tahun berikutnya. Namun, akibat Agresi Militer Belanda II, tahun 1948 Pemilu pertama di Indonesia gagal pula dilaksanakan. Barulah pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi Pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953. Pemilu multipartai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilihan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah Partai Politik (Parpol) tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness. Pemilu pertama ini menghasilkan partai mayoritas Partai Nasional Indonesia (PNI, 57 kursi), Masyumi (57 kursi), Nahdlatul Ulama (NU, 45 kursi), Partai Komunis Indonesia (PKI, 39 kursi) dan 37 kursi lainnya dibagi beberapa partai kecil. Partai-partai ini juga sangat ideologis, sehingga persaingan partai bukan hanya persaingan memperebutkan kekuasaan, tetapi juga faham ideologi yang saat itu juga menjadi tren negara-negara yang baru merdeka. Akhirnya, fragmentasi politik yang kuat pada saat itu berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil Pemilu 1955 dan pemerintahan. Parlemen tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek. Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Keadaan ini terus berlangsung, hingga akhirnya, Presiden Soekarno menyatakan bahwa demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, Presiden Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal dan menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy), meski akhirnya, kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan kekuasaan yang melibatkan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncullah kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai Orde Baru. Pada masa kekuasaan Presiden Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila. Orde Baru kemudian merespons penjadwalan pelaksanaan Pemilu. Namun, sebagai upaya lanjut mengatasi peruncingan ideologi, Presiden Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri, yang notabene dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa, tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Presien Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis, bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
Gerakan Reformasi muncul dengan memunculkan banyak aktor politik dan mahasiswa di berbagai daerah, hampir di seluruh Indonesia. Gerakan ini menuntut dibukanya kran demokrasi yang selama ini terbelenggu. Pemilu selama Orde Baru yang selalu dijaga bukanlah bentuk demokrasi yang sesungguhnya. Akhirnya krisis ekonomi yang berujung pada krisis multidimensi, dianggap bisa diselesaikan nantinya dengan terbukanya kran demokrasi. Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite lama dalam proses transisi. Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis. Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori negara bebas. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan sebagai dengan kebebasan yang sangat minimal (partly free). Tetapi di lain pihak, transisi demokrasi juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso, Sambas dan lainnya. Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah, dapatkah demokrasi mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah sebaliknya, demokrasi menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) membutuhkan ongkos mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat kerusuhan pasca Pemilu.

















BAB III
PENUTUP

kesimpulan
Ketika perhatian pertama kali diarahkan pada masalah-masalah pertumbuhan ekonomi dan perlunya mengubah perekonomian yang berjalan lambat menjadi dinamis dengan pertumbuhan yang swa sembada, ahli-ahli ekonomi dengan cepat menunjukan bahwa kondisi-kondisi politik dapat memainkan peranan penentu yang dapat menghalangi ataupun membantu peningkatan pendapatan per kapita. Sehingga pantaslah jika pembangunan politik dipandang sebagi keadaan  masyarakat politik yang dapat membantu jalannya pertumbuhan ekonomi.
Konsep popular kedua mengenai pembangunan politik, yang juga dikaitkan dengan factor-faktor ekonomi, menyangkut pandangan abstrak mengenai jenis khas kehidupan politik yang mendasari masyarakat industri maju. Asumsinya adalah bahwa kehidupan masyarakat industri menciptakan tipe kehidupan politik tertentu yang kurang lebih umum yang dapat ditiru oleh masyarakat manapun, baik yang sudah menjadi masyarakat industri atupun yang belum. Menurut pandangan ini, masyarakat industri, baik yang demokratis ataupun bukan, menciptakan standar-setandar tertentu mengenai tingkah laku dan prestasi politik yang dapat menghasilkan keadaan pembangunan politik dan merupakan contoh dari tujuan-tujuan pembangnan yang cocok bagi setiap system politik.
Pandangan bahwa pembangunan politik merupakan kehidupan politik yang khas dan ideal dari masyarakat industry berkaitan erat dengan pandangan bahwa pembangunan politik sama dengan moderenisasi politik
Pembangunan politik merupakan suatu peroses melalui masyarakat-masyarakat yang hanya bentuknya saja merupakan Negara-bangsa dalam arti yang sebenarnya
Tradisi ini memperkuat teori-teori masakini yang menyatakan bahwa pembentukan birokrasi yang efektif harus memperoleh prioritas utama dalam peros pembangunan. Dalam pandangan ini pembangunan administrasi dikaitkan dengan penyebaran rasionalitas, penguatan konsep-konsep hukum sekuler, dan peningkatan pengetahuan teknis dan keahlian dalam pengaturan kehidupan manusia.
Bahwa pembangunan politik adalah, atau seharusnya sama dengan, pembentukan lembaga-lembaga dan praktek-praktek demokratis dalam pandangan banyak orang tersirat banyak asumsi bahwa satu-satunya bentuk pembangunan politik yang bermakna adalah pembinaan demokrasi bahkan ada orang yang menekankan bahwa pentingnya hubungan ini dan berpendapat bahwa pembangunan baru bermakna bila dikaitkan dengan suatu ideology tertentu, apakah itu demokrasi, komunisme, ataupun totalitarisme
Banyak pada diri mereka yang merasa bahwa demokrasi itu tidak sesuai dengan pembangunan yang cepat memandang pembangunan hampir semata-mata dalam artian ekonomi dan tertib sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar